-->

FIQIH PUASA PRAKTIS (MATERI BELAJAR DARI RUMAH)








Ket.: Fhoto diambil sebelum COVID 19







I.        FIQIH PUASA PRAKTIS


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah, Ayat 183)




Di dalam mempelajari cara puasa ada beberapa hal terpenting yang harus kita hadirkan terlebih dahulu sebelum membahas permasalahan di seputar puasa.

1.    DEFINISI PUASA

Puasa menurut bahasa adalah menahan diri dari sesuatu baik dari makanan atau berbicara. Menurut bahasa arab orang menahan diri untuk tidak berbicara juga disebut berpuasa.

Adapun puasa menurut agama adalah menahan diri dari hal-hal yang membatalkannya mulai dari terbitnya fajar shodiq (masuknya waktu subuh) hingga terbenamnya matahari (masuknya waktu maghrib)

2. HAL-HAL YANG MEMBATALKAN PUASA

Jika kita perhatikan dari definisi puasa di situ disebutkan hal-hal yang membatalkan puasa. Maka dari itu menjadi sesuatu yang amat penting dalam ilmu puasa adalah mengetahui hal-hal yang membatalkan puasa.



Hal-hal yang membatalkan puasa ada sembilan (9) yaitu :

1.    Memasukan sesuatu ke dalam salah satu lima (5) lubang, yaitu :

a.    Mulut

Hukum memasukkan sesuatu ke lubang mulut adalah membatalkan puasa. Untuk memudahkan pemahaman kita maka hukum memasukkan sesuatu ke lubang mulut ini ada ( 4 ) empat hukum yaitu :

1)      Membatalkan : Yaitu di saat kita memasukkan sesuatu ke dalam mulut kita dan kita menelannya dengan sengaja saat kita sadar bahwa kita sedang puasa. Jadi yang menjadikannya batal adalah karena menelan dengan sengaja. Maka dari itu jika ada orang memasukkan permen atau es krim ke dalam mulutnya maka hal itu tidak membatalkan puasanya asalkan tidak ditelan.

Catatan masalah ludah

Di dalam masalah ini ada hal yang  perlu kita perhatikan yaitu  masalah ludah.
Ludah itu jika kita telan tidak membatalkan puasa kita dengan syarat :

·         Ludah kita sendiri
·         Tidak bercampur dengan sesuatu yang lainnya
·         Ludah masih berada di tempatnya (mulut)

Maka di saat syarat-syarat di atas terpenuhi, maka jika ludah itu ditelan tidak membatalkan puasa. Bahkan jika seandainya ada orang yang mengumpulkan ludah di dalam mulutnya sendiri dan setelah terkumpul lalu ditelan maka hal itu tidak membatalkan puasa.

Akan tetapi menelan ludah akan membatalkan puasa jika salah satu syarat di atas ada yang tidak terpenuhi, seperti karena dia menelan ludahnya orang lain, atau menelan ludah yang sudah bercampur dengan sesuatu, seperti : permen, es krim atau makanan yang masih tersisa di dalam mulut kita atau menelan ludah yang sudah dikeluarkan dari mulutnya lalu diminum maka itu semua membatalkan puasa.



Catatan :

Masalah sisa makanan di dalam mulut. Sisa makanan di mulut maka ada dua macam:

·        Jika sisa makanan di mulut kemudian bercampur dengan ludah dengan sendirinya dan susah untuk dipisahkan maka jika ditelan tidak membatalkan puasa. Misalnya orang yang sahur lalu tidur dan tidak sempat kumur atau sikat gigi lalu menduga di dalam mulutnya ada sisa– sisa makanan. Maka jika sisa makanan tersebut sudah tidak bisa lagi dibedakan dengan ludah maka hal itu tidak membatalkan puasa jika ditelan.

·        Jika ada sisa makanan yang bisa dipisahkan dari ludah lalu bercampur dengan ludah dan bercampurnya karena dikunyah dengan sengaja atau digerak-gerakkan agar bercampur kemudian ditelan, maka hal itu membatalkan puasa. Seperti sisa makanan dalam bentuk nasi atau biji-bijian yang bisa dibuang akan tetapi justru dikunyah lalu ditelan maka hal itu membatalkan puasa.

2)      Makruh (dilarang akan tetapi tidak dosa jika dilanggar) : Dihukumi makruh jika kita memasukan sesuatu ke dalam mu-lut tanpa kita telan hanya untuk main-main saja. Contohnya ketika ada seseorang yang sedang berpuasa kemudian dia dengan sengaja memasukkan permen atau es krim ke dalam mulutnya tanpa menelannya maka hukumnya makruh dan tidak membatalkan puasa dan jika tiba-tiba tanpa disengaja permen yang ada di mulutnya tertelan maka batal, karena ia menelan dengan tidak sengaja yang disebabkan sesuatu yang tidak dianjurkan yaitu telah bermain-main dengan memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya.

3)      Mubah (boleh dilakukan dan tidak dilarang) : Dihukumi mubah yaitu ketika seorang juru masak mencicipi masakannya dengan niat untuk membenahi rasa. Maka di samping hal itu tidak membatalkan puasa hal yang demilkian itu juga bukan pekerjaan yang makruh. Akan tetapi hal itu boleh-boleh saja. Dalam hal ini bukan hanya juru masak saja yang diperkenankan, akan tetapi juga siapapun yang lagi memasak. Dengan catatan tidak boleh ditelan.




4)      Sunnah (dianjurkan dan ada pahalanya) : Dihukumi sunnah yaitu ketika kita berkumur-kumur di dalam berwudhu. Maka di saat itu di samping tidak membatalkan puasa, berkumur dalam wudhu’ tetap disunnahkan biarpun dalam keadaan puasa dengan catatan tidak boleh ditelan. Bahkan jika tertelan sekalipun tanpa sengaja maka tidak membatalkan puasa. Dengan catatan ia berkumur-kumur dengan cara yang wajar saja dan tidak berlebihan.

b.    Hidung

Memasukan sesuatu ke dalam lubang hidung membatalkan puasa. Adapun batasan dalam hidung adalah bagian yang jika kita memasukkan air akan terasa panas (tersengak) maka di situlah batas dalam yang jika kita memasukkan sesuatu ke tempat tersebut akan membatalkan puasa, yaitu hidung bagian atas yang mendekati mata kita. Adapun hidung di bagian bawah yang lubangnya biasa dijangkau jemari saat membuang kotoran hidung, jika kita memasukkan sesuatu ke bagian tersebut hal itu tidak membatalkan puasa asal tidak sampai ke bagian atas seperti yang telah kami jelaskan.

c.    Telinga

Menjadi batal jika kita memasukan sesuatu ke dalam telinga kita. Yang dimaksud dalam telinga adalah bagian dalam telinga yang tidak bisa dijangkau oleh jari kelingking kita saat kita membersihkan telinga. Jadi memasukkan sesuatu ke bagian yang masih bisa dijangkau oleh jari kelingking kita hal itu tidak membatalkan puasa baik yang kita masukkan itu adalah jari tangan kita atau yang lainya. Akan tetapi kalau kita memasukkan sesuatu melebihi dari bagian yang dijangkau jemari kita seperti korek kuping atau air, maka hal itu akan membatalkan puasa. Ini adalah pendapat kebanyakan para ulama.

Dan ada pendapat yang berbeda yaitu pendapat yang diambil oleh Imam Malik dan Imam Ghozali dari madzhab Syafi’i bahwa “Memasukan sesuatu ke dalam telinga tidak membatalkan”. Akan tetapi lebih baik dan lebih aman jika tetap mengikuti pendapat kebanyakan para ulama yaitu pendapat yang mengatakan memasukkan sesuatu ke lubang telinga adalah membatalkan puasa.

d.    Jalan depan (alat buang air kecil)

Memasukan sesuatu ke dalam lubang kemaluan adalah membatalkan puasa walaupun itu adalah sesuatu yang darurot, seperti dalam pengobatan dengan memasukkan obat ke lubang kemaluan atau pipa untuk mengeluarkan cairan dari



dalam bagi orang yang sakit. Termasuk memasukan jemari bagi seorang wanita adalah membatalkan puasa.

Maka dari itu para wanita yang bersuci dari bekas buang air kecil harus hati-hati jangan sampai saat membersihkan sisa buang air kencing (beristinja) melakukan sesuatu yang membatalkan puasa.

Bagi wanita yang ingin beristinja hendaknya hanya membasuh bagian yang terbuka di saat ia jongkok saja dengan perut jemari dan tidak perlu memasukan jemari ke bagian yang lebih dalam, karena hal itu akan membatalkan puasa. Lebih dari itu ditinjau dari sisi kesehatan justru tidak sehat kalau cara membersihkan kemaluan adalah dengan cara membersihkan bagian yang tidak terlihat di saat jongkok sebab yang demikian itu justru akan membuka kemaluan untuk kemasukan kotoran dari luar.

e.    Jalan Belakang (alat buang air besar)

Memasukkan sesuatu ke lubang belakang sama hukumnya seperti memasukkan sesuatu ke jalan depan. Artinya jika ada orang memasukkan sesuatu ke lubang belakang biarpun dalam keadaan darurat seperti dalam pengobatan adalah membatalkan puasa, termasuk memasukkan jemari saat istinja (bersuci dari bekas buang air besar). Maka cara yang benar dalam istinja adalah cukup dengan membersihkan bagian alat buang air besar dengan perut jemari tanpa harus memasukkan jemari kebagian dalam.

2.    Muntah dengan sengaja

Muntah dengan sengaja akan memba-talkan puasa baik dilakukan dengan wajar atau tidak, baik dalam keadaan darurat atau tidak. Seperti dengan sengaja mencari bau yang busuk lalu diciumi hingga muntah atau memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya agar bisa muntah.

Berbeda jika muntah yang terjadi karena tidak disengaja maka hal itu tidak membatalkan puasa kita, dengan syarat :

·        Kita tidak boleh menelan ludah yang ada di mulut kita sehabis muntah sebelum kita mensucikan mulut kita terlebih dahulu dengan cara berkumur dengan air suci. Jika di saat kita belum berkumur kemudian kita langsung menelan ludah kita maka puasa kita menjadi batal sebab muntahan adalah



najis dan mulut kita telah menjadi najis karena muntahan, sehingga ludah kita telah bercampur dengan najis yang jika ditelan akan membatalkan puasa karena yang ditelan bukan lagi ludah yang murni akan tetapi ludah yang najis. Jika ada orang menggosok gigi kemudian dia itu biasanya tidak muntah maka di saat dia gosok gigi tiba-tiba muntah maka tidak batal, akan tetapi jika dia tahu kalau biasanya setiap menggosok gigi akan muntah maka hukum menggosok gigi yang semula tidak haram menjadi haram dan jika ternyata benar-benar muntah maka puasanya menjadi batal.

Jika ada orang yang kemasukan lalat sampai melewati tenggorokannya kemudian dia berusaha untuk menge-luarkannya maka menjadi batal karena sama saja seperti muntah yang disengaja. Berbeda dengan dahak, jika seseorang berdahak maka hal itu dima’afkan dan tidak membatalkan puasa akan tetapi dahak yang sudah keluar melewati tenggorokan tidak boleh ditelan dan itu membatalkan puasa. Batas tenggorokan adalah tempat

keluarnya huruf “HA” ( makhraj huruf    ).

3.       Bersenggama
Melakukan hubungan suami istri itu membatalkan puasa. Yang dimaksud

bersenggama adalah jika seorang suami telah memasukkan semua bagian kepala kemaluannya ke lubang kemaluan sang istri dengan sengaja dan sadar kalau dirinya sedang berpuasa maka saat itu puasanya menjadi batal (dalam hal ini sama hubungan yang halal atau yang haram seperti zina atau melalui lubang dubur atau dengan binatang). Adapun bagi sang istri biarpun yang masuk belum semua bagian kepala kemaluan sang suami asal sudah ada yang masuk dan melewati batas yang terbuka saat jongkok maka saat itu puasa sang istri sudah batal. Dan batalnya BUKAN karena bersenggama tapi masuk dalam pembahasan batal karena masuknya sesuatu ke lubang kemaluan.

Bagi suami yang membatalkan puasanya dengan bersenggama dengan istrinya dosanya amat besar dan dia harus membayar karafat dengan syarat berikut ini :

a.    Dilakukan oleh orang yang wajib baginya berpuasa
b.    Dilakukan di siang bulan puasa
c.     Dia ingat kalau dia sedang puasa
d.    Tidak karena paksaan
e.    Mengetahui keharomannya atau dia adalah bukan orang yang bodoh
f.      Berbuka karena bersenggama


Bagi orang tersebut dikenai hukuman :
1.      Mengqodho puasanya

2.      Membayar kafarat (denda)

Kafarat (denda) bersenggama di siang hari bulan ramadhan adalah:

A.      Memerdekakan budak
B.      Puasa selama dua bulan berturut-turut

C.      Memberikan makan kepada 60 faqir miskin dengan syarat makanan yang bisa digunakan untuk zakat fitrah.

Denda yang harus dibayar salah satu saja dengan berurutan. Jika tidak mampu bayar A maka bayar B, jika tidak mampu maka bayar C.

4     Keluar Mani Dengan Sengaja

Maksudnya adalah mengeluarkan mani dengan sengaja dengan mencari sebab keluarnya mani. Contohnnya : ketika ada orang yang tahu bahwa jika dia mencium istrinya atau dia dengan sengaja menyentuh kemaluannya dengan tangannya sendiri atau dengan tangan istrinya bakal keluar mani maka puasanya menjadi batal karena keluar mani tersebut dengan sengaja.

Akan tetapi tidak menjadi batal jika seandainya keluar mani tanpa disengaja seperti bermimpi bersenggama dan di saat terbangun benar-benar menemukan air mani di celananya maka yang seperti itu tidak membatalkan puasa.

5.      Hilang Akal
Hilang akal dibagi menjadi 3 ( tiga ) bagian yaitu :

a.       Gila : Sengaja atau tidak disengaja gila itu membatalkan puasa walaupun sebentar.

b.       Mabuk dan Pingsan :

·         Jika disengaja maka mabuk dan pingsan membatalkan puasa biarpun sebentar. Seperti dengan sengaja mencium sesuatu yang ia tahu kalau ia menciumnya pasti mabuk atau pingsan.

·         Jika mabuk dan pingsannya adalah tidak disengaja maka akan membatalkan puasa jika terjadi seharian penuh. Tetapi jika dia masih merasakan sadar walau hanya se-bentar di siang hari maka puasanya


tidak batal. Misal mabuk kendaraan atau mencium sesuatu yang ternyata menjadikannya mabuk atau pingsan sementara ia tidak tahu kalau hal itu akan memabukkan atau menjadikannya pingsan. Maka orang tersebut tetap sah puasanya asalkan sempat tersadar di siang hari walaupun sebentar.

c.       Tidur : Tidak membatalkan puasa walaupun terjadi seharian penuh.

6.       Haid

Membatalkan puasa walaupun hanya sebentar sebelum waktu berbuka. Misal haid datang 2 menit sebelum masuk waktu maghrib, maka puasanya menjadi batal akan tetapi pahala berpuasanya tetap utuh.

7.       Melahirkan
Melahirkan adalah membatalkan puasa, baik itu mengeluarkan bayi atau

mengeluarkan bakal bayi yang biasa disebut dengan keguguran. Misal seorang ibu hamil sedang berpuasa tiba-tiba melahirkan di siang hari saat berpuasa, maka puasanya menjadi batal.

8.    Nifas

Nifas juga membatalkan puasa. Misalnya ada orang melahirkan ternyata setelah melahirkan tidak langsung keluar darah nifas. Karena ia mengira tidak ada nifas akhirnya ia berpuasa dan ternyata di saat ia lagi puasa darah nifasnya datang maka saat itu puasanya batal.

9.    Murtad.

Murtad atau keluar dari Islam membatalkan puasa. Misalnya ada orang sedang berpuasa tiba-tiba ia berkata bahwa ia tidak percaya kalau Nabi Muhammad adalah Nabi atau ada orang sedang berpuasa tiba-tiba menyembah berhala maka puasanya menjadi batal.




3.      ORANG–ORANG YANG BOLEH UNTUK TIDAK BERPUASA

1.      Anak kecil
Maksudnya adalah anak yang belum baligh. Baligh ada 3 tanda yaitu :

a.       Keluar mani (bagi anak laki-laki dan perempuan) pada usia 9 tahun hijriah.

b.       Keluar darah haid usia 9 tahun hijriah (bagi anak perempuan)


c.       Jika tidak keluar mani dan tidak haid maka ditunggu hingga umur 15 tahun. Dan jika sudah genap 15 tahun maka ia telah baligh dengan usia, yaitu usia 15 tahun.

2.      Gila

Orang gila tidak wajib berpuasa bahkan seandainya berpuasa maka puasanya pun tidak sah. Namun dalam hal ini ulama membagi ada 2 ( dua ) macam orang gila yaitu :

a.      Orang gila yang disengaja

Orang gila yang disengaja jika berpuasa maka puasanya tidak sah dan wajib mengqodho’. Sebab sebenarnya ia wajib berpuasa kemudian ia telah dengan sengaja membuat dirinya gila maka karena kesengajaan inilah ia wajib mengqodho’ puasanya setelah sehat akalnya.

b.      Orang gila yang tidak disengaja

Orang gila yang tidak disengaja tidak wajib berpuasa bahkan seandainya berpuasa maka puasanya tidak sah dan jika sudah sembuh dia tidak berkewajiban mengqodho’ ka-rena gilanya bukan disengaja.

3.      Sakit

Orang sakit boleh meninggalkan puasa. Akan tetapi di sini ada ketentuan bagi

orang sakit tersebut yaitu :

Sakit parah yang memberatkan untuk berpuasa yang berakibat semakin parahnya penyakit atau lambat kesembuhannya. Dan yang bisa menentukan ini adalah :

a. Dokter muslim yang terpercaya.
b. Berdasarakan pengalamannya sendiri.


Catatan :

Dalam hal ini tidak terbatas kepada orang sakit saja, akan tetapi siapapun yang sedang berpuasa lalu menemukan dirinya lemah dan tidak mampu untuk berpuasa dengan kondisi yang membahayakan terhadap dirinya maka saat itu pun dia boleh membatalkan puasanya. Akan tetapi ia hanya boleh makan dan minum seperlunya kemudian wajib menahan diri dari makan dan minum seperti layaknya orang berpuasa. Akan tetapi ini khusus untuk orang seperti ini (bukan orang sakit).



4.      Orang tua

Orang tua (lanjut usia) yang berat untuk melakukan puasa diperkenankan untuk meninggalkan puasa.

5.      Bepergian (musafir)

Semua orang yang bepergian boleh meninggalkan puasa dengan ketentuan sebagai berikut ini :

a.       Tempat yang dituju dari tempat tinggalnya tidak kurang dari 84 km.

b.       Di pagi (saat subuh) hari yang ia ingin tidak berpuasa ia harus sudah berada di perjalanan dan keluar dari wilayah tempat tinggalnya (minimal batas kecamatan).

Misal : Seseorang tinggal di Cirebon ingin pergi ke Semarang. Jarak antara Cirebon - Semarang adalah 200 km (tidak kurang dari 84 km). Ia meninggalkan Cirebon jam 2 malam (Sabtu dini hari). Subuh hari itu adalah jam 4 pagi. Pada jam 4 pagi (saat subuh) ia sudah keluar dari Cirebon dan masuk Brebes. Maka di pagi hari Sabtunya ia sudah boleh meninggalkan puasa.

Berbeda jika berangkatnya ke Semarang setelah masuk waktu subuh, Sabtu pagi setelah masuk waktu subuh masih di Cirebon. Maka di pagi hari itu ia tidak boleh meninggalkan puasa karena sudah masuk subuh ia masih ada di rumah. Tetapi ia boleh meninggalkan puasa di hari Ahadnya, karena di subuh hari Ahad ia berada di luar wilayahnya.

Catatan :

Seseorang dalam bepergian akan dihukumi mukim (bukan musafir lagi) jika ia niat tinggal di suatu tempat lebih dari 4 hari. Misal orang yang pergi ke Semarang tersebut dalam contoh saat di Tegal ia sudah boleh berbuka dan setelah sampai di Semarang juga tetap boleh berbuka asalkan ia tidak bermaksud tinggal di Semarang lebih dari 4 hari.

Dan jika ia berniat tinggal di Semarang lebih dari 4 hari maka semenjak ia sampai Semarang ia sudah disebut mukim dan tidak boleh meninggalkan puasa dan juga tidak boleh mengqosor sholat. Untuk dihukumi mukim tidak harus menunggu 4 hari seperti kesalah-pahaman yang terjadi pada sebagian orang, akan

 

tetapi kapan ia sampai tempat tujuan yang ia niat akan tinggal lebih dari 4 hari ia sudah disebut mukim.

6.      Hamil
Orang hamil yang khawatir akan kondisi :
a. Dirinya, atau
b. Janin (bayinya)

7.      Menyusui

a.      Dirinya atau
b.      Kondisi bayi yang masih di bawah umur 2 tahun hijriyah.

Bayi di sini tidak harus bayinya sendiri akan tetapi bisa juga bayi orang lain.

8.      Haid

Wanita yang sedang haid tidak wajib berpuasa, bahkan jika berpuasa puasanya pun tidak sah bahkan haram hukumnya.

9.      Nifas

Wanita yang sedang nifas tidak wajib berpuasa, bahkan jika berpuasa puasanya pun tidak sah bahkan haram hukumnya.



4.      ORANG YANG WAJIB MENGQODHO ATAU MEMBAYAR FIDYAH DARI ORANG YANG BOLEH MENINGGALKAN PUASA




1.    Anak kecil

Anak kecil jika sudah baligh maka ia tidak wajib mengqodho dan tidak wajib membayar fidyah atas puasa yang ditinggalkannya.

2.    Orang Gila

a.      Gila yang disengaja wajib mengqodho’ saja dan tidak wajib membayar fidyah.




b.       Gila yang tidak disengaja tidak wajib mengqodho dan tidak wajib membayar fidyah

3.    Orang sakit

a.    Sakit yang masih ada harapan sembuh wajib mengqodho’ jika sembuh dan tidak wajib membayar fidyah.

b.    Sakit yang menurut keterangan dokter sudah tidak ada harapan sembuh maka ia tidak wajib mengqodho’, akan tetapi hanya wajib membayar fidyah setiap hari yang ia tinggalkan dengan makanan ( seperti : beras ) sebanyak 1 mud (yaitu 6,7 ons) diberikan kepada fakir miskin.

4.    Orang tua

Orang tua disamakan dengan orang sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya. Karena orang tua tidak akan kembali muda. Maka baginya tidak wajib mengqodho’ dan hanya wajib membayar fidyah 1 mud (yaitu 6,7 ons) diberikan kepada fakir miskin.

5.    Orang musafir

Orang yang bepergian hanya wajib mengqodho saja dan tidak wajib membayar fidyah.

6.    dan 7. Wanita hamil dan menyusui
Wanita hamil dan menyusui ada 3 (tiga) macam :

a. Wajib mengqodho’ saja jika dia khawatir akan dirinya sendiri

b. Wajib mengqodho’ saja jika dia khawatir akan dirinya sendiri sekaligus khawatir keadaan anaknya

c.    Wajib mengqodho’ dan membayar fidyah jika dia khawatir akan keselamatan bayinya dan tidak khawatir akan dirinya sendiri.

8.    Wanita Haid
Wanita haid hanya wajib mengqodho dan tidak wajib membayar fidyah.

9.    Wanita Nifas
Wanita Nifas hanya wajib mengqodho dan tidak wajib membayar fidyah.





5.      TABEL MASALAH QODHO’ & FIDYAH


No
Orang Yang Boleh Meninggalkan
Qodho
Fidyah
Puasa



1
Anak kecil
X
X
2
a. Gila yang tidak disengaja
X
X
b. Gila yang disengaja
X


a. Sakit yang ada harapan sembuh
X
3
b. Sakit yang tak ada harapan



sembuh
X
4
Orang tua
X
5
Orang Bepergian (musafir)
X

Orang Hamil dan Menyusui :



a.  khawatir akan dirinya sendiri
X
6, 7
b.  khawatir akan dirinya dan
X

bayinya



c.  khawatir akan bayinya saja
8
Haid
X
9
Nifas
X

Keterangan : X artinya tidak wajib

√ artinya wajib

Orang Yang Wajib Berpuasa

Dari keterangan di atas bisa disimpulkan bahwa selain orang yang boleh meninggalkan puasa maka mereka adalah orang-orang yang wajib berpuasa.


6.          NIAT DI DALAM PUASA

a.           Yang Wajib Dihadirkan Di Dalam Niat Yang wajib dihadirkan di dalam niat adalah :

1.       Untuk puasa wajib :
a.       Bermaksud berpuasa

b.       Meyakini kefardhuannya (bahwa puasa yang akan dilakukan adalah wajib)
c.       Menentukan jenis puasanya



Ini semua cukup dilintaskan di dalam hati saja dan jika diucapkan dengan lidahnya asal hatinya tetap ingat akan niat tersebut maka puasanya juga sah bahkan sebagian ulama menganjurkan untuk diucapkan dengan lidahnya dengan bahasa apapun untuk membantu hati mengingat niat tersebut.

Contoh : “Aku berniat puasa Fadhu Ramadhan”


Aku Berniat Puasa = Bermaksud Puasa Fardhu = Meyakini kefardhuannya Ramadhan = Menentukan jenis puasanya.

2.       Untuk puasa sunnah :

A.    Sunnah rowatib atau puasa sunnah yang sudah ditentukan waktunya seperti puasa 6 syawal atau puasa senin dan kamis. Cara niatnya adalah :

a.       Bermaksud berpuasa

b.       Menyebut puasa yang akan di lakukan Contoh : “Aku niat Puasa hari Kamis”


Aku niat puasa = Bermaksud Puasa
Hari Kamis = Menentukan jenis puasa sunnahnya

B.    Puasa Sunnah Mutlaqoh atau puasa sunnah di selain hari-hari yang telah ditentukan. Cara niatnya adalah cukup bermaksud untuk berpuasa

Contoh :
“Aku Niat Puasa”


Catatan :

Di dalam berniat tidak harus menggunakan bahasa Arab, akan tetapi dengan bahasa apapun niatnya maka puasa tetap sah.





b.          Waktu Niat

Waktu niat di dalam berpuasa ada dua macam :

1.          Puasa Fardhu

Untuk puasa fardhu (wajib) maka niatnya harus dilakukan sebelum terbit fajar shodiq (fajar yang sesungguhnya) atau sebelum masuk waktu Subuh.

Catatan:

Semua niat dalam ibadah adalah dilakukan di awal memulai pekerjaan ibadahnya kecuali puasa yang cara niatnya adalah bisa di malam hari jauh-jauh sebelum fajar shodiq terbit.

2.             Puasa sunnah

Untuk puasa sunah tidak diharuskan niat pada malam harinya akan tetapi boleh berniat di pagi hari dengan 2 syarat :

1.       Belum tergelincir matahari

2.       Belum melakukan sesuatu yang membatalkan puasa yang tersebut di atas seperti makan atau minum.


7.    SEKILAS PERBEDAAN ULAMA DALAM NIAT

a.       Mazhab Syafi’i :

Satu kali niat untuk satu kali puasa artinya niat puasa harus dilakukan setiap malam.

b.       Mazhab Malik :

Boleh menggabungkan niat di awal puasa selama satu bulan penuh dengan syarat dalam sebulan itu tidak terputus dengan batalnya puasa, jika sempat terputus dengan tidak berpuasa maka ia harus memulai dengan niat yang baru lagi seperti terputusnya karena haid.

c.       Mazhab Abu Hanifah :

Tidak ada perbedaan dalam puasa wajib atau sunnah bahwa menginapkan niat di malam hari tidak wajib menurut Imam Abu Hanifah. Jika berniat setelah terbitnya


matahari tetap sah, asalkan matahari belum tergelincir (masuk waktu dzuhur) dan belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa.



3.             Puasa Qodho.



Bagi yang punya hutang puasa cara mengqodhonya adalah dengan melakukan puasa di hari-hari yang diperkenankan puasa di sepanjang satu tahun setelah ramadhan, yaitu selain :



1.       Hari raya Idul Fitri

2.       Hari raya Idul Adha

3.       Hari Tasyrik (11,12,13 Dzulhijjah)



Cara niat puasa qodho’ sama dengan cara niat puasa ramadhan. Adapun menambah kalimat qodho’ itu tidak harus akan tetapi sekedar dianjurkan.



Jika mengqodho’ puasa ramadhan bertepatan dengan hari-hari disunnahkan puasa sunnah, maka cukup niat puasa qodho yang wajib saja tanpa harus dibarengi dengan niat puasa sunnahnya. Dan orang tersebut sudah mendapatkan pahala puasa wajib dan puasa sunnah sekaligus biarpun tanpa diniatkan puasa sunnah. Wallohu a’lam bisshowab






0 Response to "FIQIH PUASA PRAKTIS (MATERI BELAJAR DARI RUMAH)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel